Di Kideco, program CSR diakui turut berperan menopang pertumbuhan produksi batu bara. Seperti apa isi tata kelola CSR di perusahaan tersebut?
Wah, di tahun 2018 ini, Kideco Jaya Agung menargetkan produksi batu bara sebanyak 32 juta ton. Mayoritas produksi itu akan diekspor, dan yang terbanyak ke Tiongkok. “Target produksi 32 juta ton itu jumlahnya sama dengan di tahun 2017,” kata Presiden Direktur Kideco Jaya Agung, M. Kurnia Ariawan, seperti pernah ditulis Kontan.co.id.
Kurnia pun menjelaskan bahwa 75% dari hasil produksi batu bara itu diekspor ke Tiongkok. Adapun sisanya ke sejumlah negara di Asia dan Eropa.
Sejatinya, bagaimana perkembangan tren produksi batu bara oleh Kideco, dari tahun ke tahun? Marilah kini kita telaah untuk sejenak. Begini, berdasarkan data dari perusahaan tersebut, dari tahun ke tahun sejak berdiri, memang ada tren kenaikan produksi batubara.
Di tahun 1993, ketika perusahaan tersebut baru memulai produksi komersial, batu bara yang dihasilkan barulah sebanyak 3 juta ton. Ketika dibandingkan produksi tahun 2017 ataupun 2018 yang 32 juta ton, ada kenaikan berkali-kali lipat, bukan? Adapun puncak produksi sebesar 37 juta ton, didapat di tahun 2013.
Ada satu hal yang menarik lain.Yakni, ada satu dewa penolong yang ikut berperan menaikkan produksi batu bara oleh Kideco. Siapakah? Jawabannya, adalah program CSR yang dijalankan perusahaan tersebut.
General Manager Kideco Jaya Agung, Siswoyo, menjelaskan kepada Dewan Juri Top CSR 2018 bahwa pihaknya mulai menjalankan program CSR sejak tahun 2001. Dan setelah itu, memang ada tren kenaikan produksi batu bara.
Kalau dipikir-pikir, hal seperti itu tidaklah mengherankan bagi kita. Pasalnya, bagi sebuah perusahaan pertambangan batu bara, aktivitas yang tidak terganggu oleh penolakan dari masyarakat, menjadi salah satu syarat produktivitas bisnis yang bagus.
Di saat program CSR piawai mengharmonisasi hubungan antara sebuah perusahaan pertambangan dengan masyarakat, bukankah otomatis waktu yang terbuang akibat penolakan masyarakat itu, berkurang?
Dengan menggelontorkan program CSR yang inline dengan strategi bisnis, sebuah perusahaan pertambangan pun sejatinya tidak mengeluarkan dana dengan percuma. Lantas? Begini, di saat program CSR inline dengan strategi bisnis, ia berubah menjadi sebuah investasi sosial. Jadi, bukan sekadar sebuah donasi ataupun charity.
Tata Kelola CSR
Manajer CSR Kideco Jaya Agung, Suryanto, mengatakan bahwa CSR oleh pihaknya ada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Paser (Kalimantan Timur). “Program pemberdayaan masyarakat ataupun CSR dari kami berpedoman kepada visi, misi, SOP (standar operasi dan prosedur), serta RAB (rencana anggaran dan biaya),” papar Suryanto.
Keseriusan Kideco menggelar program CSR, punya satu penanda kuat. Yakni, dengan adanya unit khusus untuk mengelola program CSR. Seperti apa isi tata kelola program CSR di perusahaan tersebut? Jawabnya, di program itu ada pemetaan sosial (social mapping) yang berlangsung setiap lima tahun.
Kemudian, ada poin ataupun tahapan penting yang lain. Yakni, analisis kebutuhan, perencanaan program, pelaksanaan program, pemonitoran, evaluasi, serta pelaporan.
Suryanto menjelaskan lebih lanjut bahwa, untuk tahun 2018, Kideco merencanakan anggaran CSR ataupun program pengembangan masyarakat, senilai Rp 45,5 miliar. Dalam hal ini, di semester pertama, program CSR sudah merealisasikan penggunaan anggaran sebesar 25%. Adapun program pengembangan masyarakat telah merealisasikan sebesar 19%.
Untuk tahun 2017, nilai anggaran tersebut sama, yaitu senilai Rp 45,5 miliar. Nah, di tahun 2017 tersebut, program pengembangan masyarakat menggunakan dana sebesar Rp 40 miliar. Untuk realisasi program, mencapai 96%. “Sementara itu, program CSR menggunakan dana Rp 5,5 miliar dengan realisasi program lebih baik yakni 99%,” ulas Suryanto.
Kideco pun sudah menimbang jauh ke depan, memikirkan kesinambungan masyarakat ketika perusahaan tersebut sudah berhenti beroperasi. Dalam hal ini, Siswoko menguraikan bahwa pihaknya melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi cara pembinaan, agar nantinya masyarakat mandiri setelah tambang batu bara berhenti operasi.
Di situ, Kideco menghimpun masukan yang sifatnya bottom up ataupun top down. Walhasil, Kideco bisa mengidentikasikan apa saja yang diperlukan masyarakat nantinya, sehingga kelak bisa beraktivitas ekonomi sungguhpun tambang batu bara sudah tidak beroperasi.
Untuk tahun 2017, Kideco mendapatkan laba bersih sebesar USD 277,1 juta. “Ada kenaikan karena tahun sebelumnya laba bersih kami di USD 88,6 juta,” kata Direktur Keuangan Indika Energy (pemegang saham mayoritas Kideco), Azis Armand, kepada wartawan suatu ketika.
Sudah tentu, program CSR ikut berperan memuluskan pencapaian tersebut, bukan? (Dhi)